TRENDING NOW


Dikampanyekannya istilah Islam Nusantara oleh sejumlah tokoh dan pejabat negara terus mendapat sorotan. Ketua Bidang Seni Budaya MUI Pusat, KH Cholil Ridwan menilai perlu adanya koreksi terkait istilah tersebut.

“Tidak ada Islam Nusantara itu. Islam itu Islam saja. Islam alami, Islam internasional,” kata KH Cholil Ridwan kepada Kiblat.net, Selasa (19/05).

Menurut Kyai Cholil, dengan tidak adanya Islam Nusantara berarti tidak ada juga Islam Arab, Islam Cina, Islam Eropa, dan sebagainya. Dia juga menegaskan bahwa Islam itu satu, yaitu Islam yang rahmatan lilalamin.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berulang kali mengungkapkan istilah Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu muncul bacaan Al-Quran langgam Jawa dalam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara yang dianggap untuk memelihara Islam Nusantara. Belakangan, wacana itu justru menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam sendiri.

Kyai Cholil menambahkan, tidak perlu ada klaim Islam Nusantara, yang seolah-olah menarik Islam hanya milik orang Indonesia. Sehingga kemudian akan menolak Islam dari belahan negara lain seperti dari Arab, dan jika ada orang yang berbeda dianggap bukan Islam Nusantara.

“Islam itu diturunkan untuk seluruh umat manusia, rahmatan lilalamin. Jadi tidak perlu kita bonsai, Islam yang sudah besar untuk seluruh alam lalu dijadikan Islam Indonesia, Islam Barat, Islam Timur,” ujarnya.

BACA JUGA  6 Jurnalis Kiblatnet Ikuti Uji Kompetensi Wartawan
Ulama kelahiran Jakarta ini menghimbau kepada pemerintah agar tidak memaksakan istilah Islam Nusantara. Jika terus dibesar-besarkan dia khawatir akan menjadi masalah bagi umat Islam sendiri.

“Akhirnya umat Islam akan punya PR terus, dan akan ketinggalan terus. Sekarang di-cooling down sajalah,” pungkasnya.



Reporter : Imam S.

Editor: Fajar Shadiq

Kebalikan dari apa yang biasa dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada hari raya idul fitri, dimana beliau makan terlebih dahulu sebelum berangkat ke tempat shalat. Maka pada hari raya idul adha, beliau tidak makan apa pun sebelum berangkat shalat. Beliau baru makan setelah beliau pulang dari melaksanakan shalat idul adha dalilnya adalah hadits Buraidah  yaitu,

“Dan beliau tidak makan pada hari raya kurban hingga selesai shalat.” Dalam lain riwayat dikatakan,
“Dan beliau tidak makan pada hari raya idul adha hingga pulang (dari shalat).” (Al-Hadits)






Sunnah tidak makan sebelum idul adha dan baru makan setelah selesai melaksanakan shalat idul adha ini berlaku untuk semua kaum muslimin, terutama bagi mereka yang berkurban. Adapun bagi yang kebetulan tidak berkurban, maka ia boleh memilih antara makan terlebih dahulu atau menundanya hingga sepulang shalat id. Namun, tentu saja mencontoh apa yang dilakukan Nabi lebih baik dan utama.

Setidaknya ada lima hikmah dibalik kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hal tidak makan sebelum shalat idul adha dan makan terlebih dahulu sebelum shalat idul fitri.
Pertama yaitu, karena beliau makan daging hewan kurbannya selesai shalat idul adha. Sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua, karena selama Ramadhan, kaum muslimin telah berpuasa penuh. Sehingga tidak ada salahnya jika pada hari idul fitri mereka merasakan nikmatnya makan di pagi hari. Ketiga, untuk idul adha, Nabi ingin memberikan kesempatan atau waktu yang lebih luas bagi kaum muslimin yang berkurban untuk menyembelih binatang kurbannya dan menyantap dagingnya. Keempat, untuk idul fitri, Nabi ingin memberikan kesempatan terakhir bagi kaum muslimin yang belum membayar zakat fithrah untuk segera membayarkannya. Dan kelima, untuk idul adha, merupakan pendidikan bagi sebagian kaum muslimin yang tidak terbiasa puasa sunnah, agar mereka menahan lapar barang beberapa saat setelah cukup lama mereka tidak merasakan nikmatnya berpuasa meskipun hanya sebentar.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352.Syaikh Syu’aib  Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
قال أحمد: والأضحى لا يأكل فيه حتى يرجع إذا كان له ذبح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم أكل من ذبيحته، وإذا لم يكن له ذبح لم يبال أن يأكل. اهـ.
“Imam Ahmad berkata: “Saat Idul Adha dianjurkan tidak makan hingga kembali dan memakan hasil sembelihan qurban. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dari hasil sembelihan qurbannya. Jika seseorang tidak memiliki qurban (tidak berqurban), maka tidak masalah jika ia makan terlebih dahulu sebelum shalat ‘ied.” (Al Mughni, 2: 228)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وإن أكل يوم الأضحى قبل غدوه إلى المصلى فلا بأس، وإن لم يأكل حتى يأكل من أضحيته فحسن، ولا يحل صيامهما أصلا
“Jika seseorang makan pada hari Idul Adha sebelum berangkat shalat ‘ied di tanah lapang (musholla), maka tidak mengapa. Jika ia tidak makan sampai ia makan dari hasil sembelihan qurbannya, maka itu lebih baik.  Tidak boleh berpuasa pada hari ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) sama sekali.” (Al Muhalla, 5: 89)

Namun sekali lagi, puasa pada hari ‘ied -termasuk Idul Adha- adalah haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin. Sedangkan yang dimaksud dalam penjelasan di atas adalah tidak makan untuk sementara waktu dan bukan niatan untuk berpuasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Dan kita lihat dari penjelasan Imam Ahmad yang dinukil dari Ibnu Qudamah di atas bahwa sunnah tidak makan sebelum shalat Idul Adha hanya berlaku untuk orang yang memiliki hewan qurban sehingga ia bisa makan dari hasil sembelihannya nanti. Sedangkan jika tidak memiliki hewan qurban, maka tidak berlaku.






 Memang benar bahwa disunnahkan untuk makan pagi atau sarapan terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat Idul Fithri. Ini berbeda dengan shalat Idul Adha dimana yang disunnahkan adalah puasa terlebih dahulu sebelum shalat Id.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :



عَنْ أَنَسٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
Dari Anas bin Malik radliyallahuanhu berkata, “Rasulullah tidak berangkat pada Idul Fithri hingga beliau memakan beberapa kurma. (HR. Bukhari)
Makan sebelum berangkat sholat idul fitri hukumnya bukan kewajiban, seandainya kita tidak sempat makan dulu sebelum shalat tentu tidak mengapa hukumnya. Namun begitu hal ini termasuk salah satu sunnah sunnahRasulullah SAW.
Dalam hal ini Al-Imam Asy-Syafi'i (w. 150 H) menuliskan dalam kitab beliau Al-Umm :
ونحن نأمر من أتى المصلى أن يأكل ويشرب قبل أن يغدو إلى المصلى فإن لم يفعل أمرناه بذلك في طريقه أو المصلى إن أمكنه فإن لم يفعل ذلك فلا شيء عليه ويكره له أن لا يفعل
Kami memerintahkan bagi yang mendatangi tempat shalat Ied untuk makan dan minum terlebih dahulu sebelum mendatangi tempat shalat. Bila tidak makan, kami perintahkan untuk makan di jalan atau di tempat shalat bila memungkinkan. Namun bila tidak, tentu tidak berdosa tetapi hukumnya makruh bila tidak dikerjakan. 
Perlu juga dipahami bahwa kalau disebutkan Rasulullah SAW memakan kurma, maka yang dimaksud tidak lain adalah makan yang sebenarnya. Dalam hal ini Rasulullah SAW sebelum berangkat shalat Idul-Fitri sarapan atau makan pagi terlebih dahulu.
Terkait makan di hari raya Idul Fitri, Nabi memberi suri tauladan bahwa sebelum pergi shalat Idul Fitri Rasulullah SAW makan terlebih dahulu.
Dari Anas Radliallahu anhu, ia berkata :
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma”.

Berkata Imam Al Muhallab :
“Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fitri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksankan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana” [Fathul Bari 2/447, lihat di dalam kitab tersebut ucapan penulis tentang hikmah disunahkannya makan kurma]



Sunnah Sunnah Rasulullah


SalatWitir (Arab: صلاة الوتر Sholatul witr) adalah salat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari setelah waktu isya dan sebelum waktu salat subuh, dengan rakaat ganjil. Salat ini dilakukan setelah salat lainnya, sepertti tarawih dan tahajjud), hal ini didasarkan pada sebuah hadits. Salat ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk "mengganjili" salat-salat yang genap, karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya akhir salat malam.

Salat sunah witir adalah sunah muakad. Dasarnya adalah hadis
·         Abu Ayyub Al-Anshaari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Witir adalah hak atas setiap muslim. Barangsiapa yang suka berwitir tiga rakaat hendaknya ia melakukannya, dan barangsiapa yang berwitir satu rakaat, hendaknya ia melakukannya”
·         Dari Ubay Bin Ka’ab, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam salat witir: Sabbihis marobbikal a’la (di raka'at pertama -red), kemudian di raka'at kedua: Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan pada raka'at ketiga: Qul huwallaahu ahad, dan dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir.” (Hadits riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Penjelasan: Perkataan Ubay Bin Ka’ab, “dan dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir”, jelas ini menunjukkan bahwa tiga raka'at salat witir yang dikerjakan nabi itu dengan satu kali salam.
·         Aisyah radhiallahu ‘anha menerangkan tentang salatnya Rasul di bulan Ramadhan,
“Rasul tidak pernah salat malam lebih dari 11 raka'at, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, yaitu dia salat 4 raka'at, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat 4 raka'at lagi, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat witir 3 raka'at.” (Hadits riwayat Bukhori 2/47, Muslim 2/166)
Demikian juga dengan hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu ketika ia berkata: “Witir tidaklah wajib sebagaimana salat fardhu. Akan tetapi ia adalah sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW
Di antara yang menunjukkan bahwa witir termasuk sunah yang ditekankan (bukan wajib) adalah riwayat shahih dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwa ia menceritakan:” Ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Nejed yang datang menemui Rasulullah SAW dengan rambut acak-acakan. Kami mendengar suaranya, tetapi kami tidak mengerti apa yang diucapkannya, sampai dekat, ternyata ia bertanya tentang Islam. Ia berkata “ Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku salat apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: “Salat yang lima waktu, kecuali engkau mau melakukan sunah tambahan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab; “Puasa di bulan Ramadan, kecuali bila engkau ingin menambahkan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku zakat apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: (menyebutkan beberapa bentuk zakat). Lelaki itu bertanya lagi: ‘Apakah ada kewajiban lain untuk diriku?” Dia menjawab lagi: “Tidak, kecuali bila engkau mau menambahkan’. Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya syariat-syariat Islam. Lalu lelaki itu berbalik pergi, sambil berujar: “Semoga Allah memuliakan dirimu. Aku tidak akan melakukan tambahan apa-apa, dan tidak akan mengurangi yang diwajibkan Allah kepadaku sedikitpun. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh ia akan beruntung, bila ia jujur, atau ia akan masuk surga bila ia jujur”
Juga berdasarkan hadis Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi pernah mengutus Muadz ke Yaman. Dalam perintahnya: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka salat lima waktu sehari semalam. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa witir bukanlah wajib. Itulah madzhab mayoritas ulama. Salat witir adalah sunnah yang ditekankan sekali. Oleh sebab itu Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan salat sunnah witir dengan sunnah Shubuh ketika bermukim atau ketika bepergian.
Salat witir dapat dilaksanakan satu, tiga, lima rakaat atau jumlah lain yang ganjil langsung dengan sekali salam. tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa salat witir dilaksanakan dengan satu kali salam tiap dua rakaat dan terakhir satu kali salam satu rakaat. sebagai contoh apabila salat witir satu rakaat saja maka satu rakaat satu kali salam. apabila salat witir tiga rakaat maka dilaksanakan dua rakaat satu kali salam di tambah satu rakaat satu kali salam. apabila salat witir lima rakaat maka dilaksanakan empat rakaat dua kali salam ditambah satu rakaat satu kali salam.apabila salat witir tujuh rakaat maka dilaksanan enam rakaat tiga kali salam ditambah satu rakaat satu kali salam.



Keutamaan Sholat witir.




Sesungguhnya shalat Witir memiliki keutamaan yang besar dan memiliki urgensi yang cukup besar. Dalil yang paling kuat untuk hal itu adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, baik ketika sedang berada di rumah ataupun dalam bepergian. Inilah dalil yang cukup jelas mengenai betapa pentingnya shalatWitir tersebut.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah:
Dari Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ.
‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat ‘Isya’ hingga shalat Shubuh.'” [HR. Ahmad].[1]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً، فَحَافِظُوْا عَلَيْهَا، وَهِيَ اَلْوِتْرُ.
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memberi kalian tambahan shalat, maka peliharalah dia, yaitu shalat Witir.”[2]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا.
“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir.”[3]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga aku wafat; berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan tidur setelah shalat Witir.”[4]

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ، فَأَوْتِرُوْا يَاأَهْلَ الْقُرْآنِ.
“Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai orang-orang yang melakukan shalat Witir, maka shalat Witirlah, wahai para ahli al-Qur-an.”[5]

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Barangsiapa shalat sunnah di malam hari maka hendaklah ia men-jadikan akhir shalatnya adalah shalat Witir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.”[6]

Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيُوْتِرْ بِخَمْسٍ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوْتِرْ بِثَلاَثٍ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ.
“Shalat Witir adalah haq (benar adanya), maka barangsiapa yang mau, maka berwitirlah lima raka’at, barangsiapa yang mau, berwitirlah tiga raka’at dan barangsiapa yang mau, berwitirlah satu raka’at.”[7]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di malam hari (shalat Tahajjud) sedang ia berbaring di hadapannya. Bila tinggal tersisa shalat Witir yang belum dilaku-kan, beliau pun membangunkannya, dan ‘Aisyah pun lalu shalat Witir.”[8]

Saya katakan, “Hadits-hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat Witir dan disunnahkan senantiasa menjaganya.”


Anjuran Sholat Witir Sebelum Tidur




Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya. 

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewasiatkannya kepada sebagian sahabatnya, seperti Abu Hurairah, Abu Darda’ dan selainnya. Keberadaannya sebagai wasiat beliau tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Berikut adalah anjuran sholat witit sebelum tidur.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَبِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصَلَاةِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
“Kekasihku Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah).” (HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib)

Anjuran mengawalkan witir sebelum tidur ini ditekankan kepada siapa yang tidak yakin akan terbangun di akhir malam. Ini lebih utama untuk dirinya. Dan ini tentunya akan lebih memberikan jaminan tidak meninggalkan shalat witir.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لِيَرْقُدْ وَمَنْ طَمِعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam hendaknya ia witir di awal malam, lalu ia tidur. Dan siapa  di antara kalian yang yakin benar bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam. Sebab, bacaan di akhir malam dihadiri Malaikat dan lebih utama.” (HR. Muslim, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sedangkan bagi orang yang yakin atau menurut perkiraannya -lebih kuat- akan bangun di akhir malam –tidak diragukan lagi- bahwa mengakhirkan witir adalah lebih utama. Yakni di sepertiga malam terakhir sebagai waktu turunnya Allah ke langit dunia.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikan witir sebagai akhir shalat malammu,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma)






Tidur Hanya Beralaskan Tikar.

 Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa tidur di atas tikar, dan ketika beliau bangun, tampak bekas guratan tikar pada bahunya. Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin membuatkan kasur untukmu’. Kata beliau, ‘Apalah artinya dunia ini bagiku? Aku di dunia ini hanyalah laksana seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon dia beristirahat dan kemudian meninggalkannya’.” (HR. At-Tirmidzi)
Subhanallah, betapa zuhudnya kehidupan pribadi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Untuk alas tidur pun, beliau merasa cukup dengan hanya sehelai tikar yang terbuat dari pelepah korma, yang jika beliau bangun, akan tampak bekas guratan tikar di tubuhnya. Padahal sekiranya beliau mau, beliau dapat memakai alas tidur yang jauh lebih empuk daripada sekadar selembar tikar. Dan para sahabat pun akan dengan senang hati membuatkan beliau kasur yang empuk jika beliau menghendaki. Mahabenar Allah yang mengatakan Rasul-Nya sebagai, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak mulia.” (Al-Qalam: 4)
Dalam hadits shahih riwayat Aisyah Radhiyallahu Anha disebutkan, “Adalah kasur Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terbuat dari kulit yang disamak dilapisi pelepah korma.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas dan hadits sebelumnya menceritakan tentang kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tidur hanya beralaskan tikar. Sungguh jauh sekali antara kebiasaan beliau ini dengan kebiasaan tidur sebahian kaum muslimin -termasuk kita- yang lebih senang tidur dengan beralaskan kasur empuk. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan shalawat dan saham-Nya kepada beliau, serta mengampuni segala dosa-dosa dan kelemahan kita. Amin.
Syaikh Muhammad Luthfi berkata, “Hadits ini menunjukkan sikap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang senantiasa menjauhi perhiasaan dunia dan lebih memilih gaya hidup sederhana. Kehidupan yang dilakoni Nabi ini sungguh berlawanan dengan kebiasaan sebaiagn kaum muslimin yang senang hidup mewah dan berbangga-bangga dengan perabotan dan peralatan rumah tangga yang serba mahal. Lebih khusus lagi, adalah apa yang sering kita saksikan dalam perayaan pernikahan.
Namun demikian, bukan berarti kita tidak boleh tidur di atas kasur empuk ataupun ranjang yang bagus. Selama itu tidak berlebihan dan tidak membuat kita melalaikan kewajiban ataupun lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah tidak mengapa. Karena bagaimanapun juga, Allah tidak melarang hamba-hamba-Nya untuk menikmati indahnya rezeki dan perhiasaan dunia yang telah Dia karuniakan kepada mereka. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Katakanlah, siapalah yang telah mengharamkan perhiasaan Allah dan rezeki yang baik (halal) yang telah Dia anugerahkan untuk hamba-hamba-Nya? Katakanlah, itu semua diperuntukkan bagi orang-orang beriman di kehidupan dunia. Dan hanya untuk mereka pada Hari Kiamat.” (Al-A’raf: 32)

(Sumber Chanelmuslim.com)